Namun sayang, pertemuan mediasi yang sebenarnya dihadiri oleh penggunggat, Dewa Kresna justru tidak bisa hadir dalam mediasi dengan alasan karena ada keperluan rapat di Denpasar yang disampaikan oleh Kiarsyah Mirza Syahputra ,SH dalam sambutannya. "Namun demikian, kami di BPN juga terikat dengan jadwal kami yang sudah padat. Kami tidak bisa lagi mengundurkan jadwal namun kami tetap hadir paling tidak kami menyampaikan kepada Bapak Perbekel bahwa dalam keadaan seperti ini kami datang supaya kami tidak sia-sia ingin mengambil keterangan dari kedua belah pihak". kata kepala BPN Kiarsyah Mirza Syahputra ,S.H.
Walaupun pihak penggugat tidak bisa hadir dalam mediasi, dari pihak BPN tetap meminta keterangan dari tokoh masyarakat yang hadir dalam mediasi untuk didengar pendapatnya atau menyampaikan atas dasar-dasar kepemilikan hak atas tanah Desa Adat yang dimiliki oleh Desa Pakraman Pelapuan.
Menurut Jro Gede Made Pancer, mantan Bendesa Adat 2 periode yang berakhir masa jabatannya akhir tahun 2019 lalu, Dengan singkat menceritakan sejarah terbentuknya Desa Adat Pelapuan yang dikategorikan menjadi 3 pos (gelombang kedatangan penduduk - Leluhur)
Pos pertama yang disebut Wiwitan atau yang membangun Desa Adat adalah Keluarga Leluhur yang tertua. Kemudian pos kedua, Leluhurnya dari keluarga Pak Mekel. Dan pos ketiga baru dari Keluarga Pak Dewa Kresna. "Jadi Leluhur Pak Dewa Kresna dikategorikan pos yang ke 3 Dimana sudah terbentuk sebelumnya Desa Adat (Dresta) dengan awig-awignya. Saat Kedatangan Leluhur dari Dewa Ketut Kresna diberilah lahan untuk ditempati tetapi dengan syarat agar mematuhi awig-awig dan Bhisama Desa Adat Pelapuan". Ungkap Jro Gede Made Pancer.
Mengutip dari konsep Tri Hita Karana sebagai dasar terbentuknya Desa Adat, Yaitu hubungan manusia dengan TUHAN, Manusia dengan Manusia, Manusia dengan pelemahan ( lingkungan) Jro Mangku Gede Rena menegaskan konsep yang kedua yaitu hubungan Manusia dengan manusia yang harmonis didasari atas saling kepercayaan, kekeluargaan dan kesepakatan.
"Diberikannya tanah Desa Adat kepada warga bukan sebagai hak milik tetapi hanya dijadikan sebagai tempat tinggal dan tidak boleh dijadikan untuk keperluan ekonomi. Oleh karena demikian maka tanah milik Desa itu disertifikatkan atas nama Desa Adat supaya tidak bisa diperjual-belikan", Tegas Jro Mangku Gede Rena .
Disisi lain, Perbekel Desa Pelapuan saat di konfirmasi Media-DPR.com saat ditanya bukti real atas kepemilikan hak milik tanah pekarangan desa adat menjelaskan, "Tanah pekarangan desa yang sudah jelas di ketahui dan juga di tempati oleh masyarakat desa adat dan secara obyektif tidak mungkin tanah yang di klaim yang di tengah2 tanah pekarangan desa adat menjadi tanah milik pribadi karena tanah yang di klaim tepat di sebelah selatan kantor desa pelapuan yang juga merupakan tanah karang desa adat, dan jelas ada denah tanah pekarangan desa adat yang di putuskan dan di berikan kepda warga desa adat yang sudah melakukan kewajiban sebagai krama adat yang turun temurun sidah di akui oleh warga krama adat". Jelas Gede Agus Armika Yasa.
Sementara itu, Dewa Ajik Mangku selaku adik dari penggugat Dewa Ketut Kresna Smik SH Menyampaikan bahwa, Semenjak lahir sampai saat ini sudah ada dan tinggal di tanah tersebut dan sudah di tempati selama 7 keturunan. "Saya tidak tahu entah tanah milik pribadi atau desa, Sebab saya sudah keturunan yang ke 7". Pungkasnya.
Dari Hasil pertemuan, belum ada keputusan dalam penyelesaian kasus tersebut karena masih akan diadakan mediasi lanjutan untuk mendengar atau klarifikasi dari penggugat. (Sumber/Gede)