Keris Para Sultan Kasepuhan Cirebon

Iklan Semua Halaman

.

Keris Para Sultan Kasepuhan Cirebon

Staff Redaksi Media DPR
Minggu, 02 Agustus 2020

DENPASAR BALI | MEDIA-DPR.COM, Tokoh paling berpengaruh di pesisir Pantai Utara jawa Kulon pada sekitar abad 16 M diyakini secara tradisional adalah seorang Syekh yang menyebarkan agama rasul (Islam) di tatar Sunda.  Setelah pamor Kerajaan Sunda Galuh mulai surut,  bandar-bandar bekas kerajaanyapun mulai diambil alih secara perlahan,  mulai dari muara jati sampai dengan Banten.

Tokoh ini dalam berbagai naskah bernama "Syekh Syarif Hidayatullah" yang oleh Dewan Wali Sanga kemudian ditetapkan sebagai Susuhunan di negeri Cherbon.  Gelar resmi beliau adalah "Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubid Zaman Khalifatur Rasulullah S.A.W" (Sulendraningrat,  1985:21). Beliau berkedudukan di Kraton Pakungwati.


Pada saat itu bahasa resmi yang digunakan adalah bahasa jawa kawi dengan huruf carakan dan ditambah arab pegon (gundul). Pola dakwah agama saat itu menggunakan media budaya yang telah ada dengan beberapa penyesuaian.  Hal ini tercermin dari mulai gaya bangunan Kraton yang menggunakan batu Bata merah layaknya bangunan-bangunan Pemerintahan Majapahit,  gamelan sekaten,  kidung-kidungan, upacara adat, busana, Wayang Golek cepak,  Wayang Kulit termasuk Keris didalamnya. 

Pada saat pemerintahan Cherbon dipegang oleh Pangeran Karim alias Panembahan Adiningkusuma (generasi ke-5) yang kemudian meninggal di Mataram (Makam Girilaya) sekitar tahun 1667, kemudian Otoritas Banten yang telah menggunakan gelar "Sultan" melantik putra-putra Pangeran Karim dengan menggunakan gelar "Sultan".

Maka mulailah Cherbon memiliki Dua Kraton yaitu Kraton Kasepuhan dipimpin oleh Sultan Sepuh (i) dan Kraton Kanoman dipimpin oleh Sultan Anom (i) serta adik mereka berdua diangkat menjadi Panembahan Cerbon yaitu Pangeran Wangsakreta dengan gelar Panembahan Tohpati. Kemudian garis Sultan Anom I membelah lagi menjadi Peguron Agama Islam yang disebut Keprabonan,  berfokus pada pendidikan agama Islam. Pada tahun 1803 Garis Sultan Kanoman membelah lagi menjadi Kraton Kacerbonan. Sehingga saat ini di Cherbon ada tiga Kraton dan satu Peguron yang semuanya merupakan penerus Kerajaan Islam Cerbon sejak era Susuhunan Jati.


Dengan melebarnya sayap kekuasaan yang berbasis kebudayaan dan agama tersebut maka dapat dibayangkan produk budaya dan tradisi yang berkembang mewarnai kehidupan masyarakat Cerbon.

Selain itu jika diamati dari sisi artefak Cerbon memang menarik dan berbeda,  unsur budaya jawa dalam bentuk dealek bahasanya kuat,  struktur bangunan yang lebih condong dipengaruhi Budaya Majapahitan sampai dengan Nisan-nisan Pangeran generasi pertama yang banyak menggunakan simbol Surya majapahit dengan tambahan arab pegon sebagai identitas sang tokoh.

Irama gamelan yang berkesan masih kuno juga terlihat pada langgam bentuk Keris dan sandangannya yang masih meneruskan budaya Kuno. Dengan menggunakan Hulu Keris stilasi mahluk mitologi (Yeksa,  Burung,  Durga dll). Langgam bilah Pusaka banyak terpengaruh budaya Majapahit,  Sunda dan Sumatra.

Tentunya Kebudayaan yang ada dan disaksikan sampai saat ini merupakan hasil akulturasi dan endapan beberapa periode : Periode Majapahitan Akhir era Awal para Susuhunan,  Periode Mataram Islam dan Kesultanan Palembang, Periode Kolonial yang semuanya tercermin pada bangunan Kraton sejak tahun 1670-an. Pada siti hinggil Kasepuhan terlihat struktur bangunan batu bata merah dengan bermacam2 motif ukiran sulur,  juga dilengkapi dengan hiasan porselen tiongkok. Pada bagian dalam Kraton dan juga Makam digunung Sembung paling tidak terdapat keramik era dinasti Ming dan Belanda.

Sistem pemakanan Para Keturunan Sunan juga dibuat diatas bukti seperti konsep Raja-Raja era Hindu-Budha (Giri) atau juga seperti konsep Makam-makam Cina. Corak budaya yang paling khas adalah penggunaan Motif Awan-awanan yang disebut megamendung (awan Horizonal) dan Wadasan (Vertikal) yang sangat terlihat pengaruh budaya Cina. Hal tersebut dapat dilihat dari bangunan Taman Sari Gua Sunyaragi,  Gapura Kasepuhan,  Hiasan Makam-makam,  Hiasan pada sandangan Keris,  Ukiran Kayu,  dan kain batiknya. Secara singkat Kerajaan Islam Cerbon merupakan contoh akulturasi dari berbagai kebudayaan dan bangsa (Plural) seperti tercermin pada dua Kreta Kencana yaitu Kreta Singabarong dan Paksinagaliman yang dalam sebuah ukiran kayu karya Pangeran Ratu disebut dengan "Mahluk Prabangsa".

Jika kita melihat dan mengamati benda-benda kuno yang tersimpan di Museum Kraton Kasepuhan yang merupakan buah karya dari Gusti Sultan Sepuh (xiv) Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat yang baru saja wafat pada beberapa minggu yang lalu (Al-Fatihah),   maka akan terlihat betapa Kerajaan yang berideologi Islam ini sangat memajukan kebudayaan contohnya pada bidang persenjataan (gaman) dan pusaka. Pada ruang Gedung Jinem terdapat beberapa Pusaka peninggalan era lampau yang pernah digunakan oleh Penguasa-penguasa Islam Cerbon. Juga adanya Piring besar yang disebut "Panjang" sebagai benda keramat Kraton. 

Yang menarik dan perlu mendapat perhatian adalah "bahwa Keris merupakan perlengkapan busana yang terus dikenakan oleh Para Sultan", hal ini paling tidak tercermin pada momen-momen resmi Sultan Sepuh.  Dari dokumentasi-dokumentasi lama terlihat Sultan Sepuh menyengkelit Keris,  dan juga terkadang mengganggarnya.

Keris juga digunakam pada saat penobatan Putra Mahkota Kerajaan. Khusus Sultan Sepuh xiv sering menggengam Keris pusaka yang konon warisan sang Sunan dengan begitu Gagahnya.  Hal tersebut mempertegas bahwa Keris merupakan bagian syiar dakwah warisan Sunan Jati,  pendiri Kerajaan Islam di Jawa Kulon.

Maka, menjadi ironis jika pada era modern ini banyak mubaligh atau pendakwah agama yang dengan mudahnya menempatkan Keris sebagai benda yang mengarah kemusrikan.  Apakah pemahaman agama,  ilmu batin dan peran mereka telah melebihi sang Susuhanan yang oleh karenanya telah berhasil membumikan Agama Rasul di tanah Jawa ini?

Apakah mereka merasa lebih tinggi Makom nya sehingga dengan mudahnya menuduh dan mempertontonkan penghancuran Benda Budaya Berupa Keris yang sangat tidak beradab?.

Sampai dengan tahun 1800an ketika melestus Perang Kedongdong banyak pemimpin pesantren di Cerbon angkat senjata melawan Pemerintahan Kolonial, Keris dan Gaman lainnya digunakan baik dalam fungsinya sebagai piandel maupun sebagai senjata fungsional.

Dan jika ingin jujur peninggalan-peninggalan artefak tersebut masih sangat banyak sampai saat ini. Maka sejak kapankah Keris dipisahkan dengan kehidupan Pesantren dan keagamaan? Siapakah kaum-kaum Fundamentalis ini? Apa agenda besarnya? Disaat generasi muda saat ini telah lupa dan terputus pengetahuan kebudayaan dari garis leluhurnya. (Gun/Iskandar)
close