TAPTENG | MEDIA-DPR.COM. Pemerintah menindak tegas Kepala Desa (Kades) dan aparat desa yang lakukan penyelewengan Dana Desa (DD). Dapat sanksi pemecatan jika terbukti lakukan penyelewengan DD.
Mendagri, Tjahjo Kumolo, mengatakan pihaknya akan mengirimkan radiogram kepada seluruh Gubernur dan Bupati terkait pengelolaan DD. Pesan tersebut akan menegaskan sistem pengawasan DD.
"Kalau ada Kades atau perangkat desa bermain-main dengan DD maka pecat. itu prinsipnya," ujar Tjahjo dalam rapat koordinasi pengawasan DD di Kantor Kemendagri, Kamis (10/08/2019).
Hal senada diungkapkan Mendes PDTT, Eko Putro Sandjojo. Menurut Eko, pemerintah tidak lagi melakukan pendekatan personal atas penyelewengan DD. Kalau masih macam-macam lagi atau main-main lagi kita tangkap," tegas Eko.
Aneh dan nekat yang nyata, terjadi di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Bupati Tapteng Masinton Pasaribu S.H., M.H., nonaktifkan Kades Korup, DPRD Tapteng malah gelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Kades dapat diberhentikan sementara oleh Bupati karena tidak melaksanakan kewajiban sebagai Kades. Melanggar larangan sebagai Kades.
Kedua Kades Desa Bottot nonaktif Dedy Azhari Silitonga. Kades Desa Pasaribu nonaktif Diswanto Hutagalung, sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Inspektorat, ditemukan penyelewengan DD yang merugikan keuangan negara dan desa. Seyogyanya kedua Kades ini sudah akan dilanjutkan ke Tipikor oleh Inspektorat.
Dua Kades ini, meminta perlindungan hukun kepada DPRD dan mengatakan penonaktifan karena didiskriminasi. Seharusnya jika Kades keberatan dinonaktifkan, lakukan gugatan ke PTUN, bukan melalui RDP DPRD.
Ada apa ini, dengan Komisi A DPRD menjadi pertanyaan intensinya. Kok.. mengakomodir dan meminta kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk RDP?
Untuk diketahui RDPU berbeda dengan RDP digelar sebagai fungsi pengawasan DPRD. RDPU untuk dengar aspirasi masyarakat disampaikan kepada DPRD. Sementara RDP adalah rapat pengawasan, DPRD mengundang Pemda sebagai mitra kerja.
Anggota DPRD, seharusnya memahami jenis-jenis rapat yang mereka selenggarakan sendiri agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. RDPU itu hanya bersifat mendengar aspirasi masyarakat dan tidak wajib dihadiri Pemda. Berbeda dengan RDP yang menjadi bagian dari fungsi pengawasan DPRD.
DPRD, unsur penyelenggara Pemda. memiliki fungsi, tugas dan wewenang. Pasal 149 ayat (1) UU 23/2014, DPRD memiliki fungsi membentuk Perda , fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Terkait fungsi pengawasan jelas ketentuan Pasal 153 UU 23/2014, pengawasan dilakukan DPRD meliputi: "Pelaksanaan Perda, pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan Perda dan
pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan.
Mereka menilai seolah-olah RDP merupakan rapat yang didengar, kemudian diberikan pendapat. Inti dari pengertian RDP adalah rapat yang membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kemitraan.
Jadi harus dipahami dalam RDP itu tidak saja mendengar kemudian berpendapat, tapi juga ada kesimpulan-kesimpulan yang bisa diambil secara bersama-sama dengan mitra kerja. Nah itu yang menjadi salah satu hal yang perlu dipahami lebih lanjut daripada hanya sekedar pengertian mendengar dan berpendapat.
Tidak hanya pengertian RDP, namun juga harus ada pengertian lebih lanjut dalam tatib DPRD terkait pemahaman tentang Rapat Kerja (Raker) dan juga RDPU.
Berharap di tatib DPRD pun harus ada pengertiannya, agar pemahaman itu tidak berbeda di daerah baik antara Pemda tapi juga dengan DPRD.
RDP, agendanya mendengarkan penjelasan Pemda terkait kebijakan yang tertera dalam undangan DPRD jelas. Sehingga RDP merupakan kemitraan yang dijalankan oleh Legislatif dan RDP itu tidak menakutkan, jika pihak eksekutif dapat memberikan penjelasan secara detail tentang yang diinginkan oleh legislative.
Maka, memandang perlu mengkonsultasikan hal ini agar pelaksanaan pemerintahan bisa disusun dengan baik sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait, Hak interpelasi, adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada Bupati mengenai kebijakan Pemda yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tentu Hak Interpelasi menjadi meningkat statusnya jika “ Komunikasi” yang berlangsung tidak berjalan dengan baik.
Tentunya ini akan menimbulkan preseden negatif terhadap pembangunan. Untuk itu pada kesempatan ini, apa yang perlu dilakukan adalah “Re-Komunikasi” terkait isu yang memang dianggap perlu oleh mitra Eksekutif yaitu DPRD.
Jadi secara komprehensif kejadian ini merupakan adanya ketidak optimalan komunikasi dari kedua pihak. Untuk itu perlu dilakukan Re-Komunikasi Ulang agar terdapat Komunikasi yang optimal antara kedua lembaga ini, demi Kemajuan Kota Pematangsiantar yang kita cintai ini.
Karena jika tidak adanya komunikasi yang harmonis, maka akan terjadi beda interpretasi. Marilah sama-sama memberikan kontribusi yang transparan, jika memang ada kekeliruan, tentu pihak DPRD juga akan memberikan catatan untuk pihak Eksekutif (Pemkab) dalam mengoptimalkan implementasi kebijakan pembangunan, baik SDM maupun pembangunan fisik.
Semoga kita semua memberikan kebersamaan dalam pembangunan Tapteng Naik Kelas Adil Untuk Semua. (Demak MP Panjaitan/Pance)