Tangerang | MEDIA-DPR.COM, Persidangan kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang kembali menyedot perhatian publik. Aliansi Tangerang Berdaulat menegaskan bahwa persoalan tidak berhenti pada perangkat desa yang dijadikan terdakwa, melainkan juga kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang yang menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) secara tidak tepat.
Aktivis Aliansi, Asmudyanto, menyebut PKKPR menjadi pintu masuk utama lahirnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang kemudian berujung pada berdirinya pagar laut. “Tanpa PKKPR, tidak akan mungkin ada SHGB di atas laut. Dan tanpa SHGB, pagar laut tidak pernah ada. Jadi masalahnya juga jelas ada pada Pemkab,” ujarnya.
Menurut Asmudyanto, Pemkab seharusnya hanya berwenang atas ruang darat. Namun, temuan menunjukkan bahwa sebagian titik koordinat PKKPR justru diterbitkan di wilayah laut. “Ini jelas pelampauan kewenangan. Pemkab bertindak di luar batas otoritasnya, dan dari situlah persoalan besar ini lahir,” tegasnya.
Ia juga menyoroti prosedur survei lapangan yang semestinya menjadi filter penting. Menurutnya, survei dilakukan sekadar formalitas, tanpa verifikasi yang memadai. “Kalau survei dilakukan benar, sejak awal akan terlihat bahwa lokasi itu laut. Fakta bahwa dokumen tetap diterbitkan membuktikan ada indikasi kesengajaan administratif,” ujarnya.
Asmudyanto menilai tindakan tersebut memenuhi kualifikasi Pasal 3 UU Tipikor yang melarang pejabat publik menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan pihak tertentu dengan merugikan negara. “Penerbitan PKKPR di laut yang kemudian melahirkan SHGB jelas masuk kategori penyalahgunaan wewenang. Unsur pasal itu terpenuhi,” tegasnya.
Sementara itu, Muhammad Kadfi, juga dari Aliansi Tangerang Berdaulat, menilai proses hukum yang berjalan masih timpang. Menurutnya, persidangan baru menyentuh aktor di tingkat desa, padahal Pemkab dan pihak penerima manfaat belum tersentuh. “Kalau hanya kades yang diseret, hukum tampak tajam ke bawah, tumpul ke atas,” katanya.
Kadfi mendesak agar jaksa tidak berhenti pada aktor kecil, melainkan berani menyeret semua pihak yang terlibat. Ia menilai transparansi di persidangan akan membuka mata rantai lebih besar di balik pagar laut. “Jaksa harus membuktikan keberanian dengan mengungkap semua yang terlibat, termasuk pejabat yang menandatangani PKKPR,” ujarnya.
Selain aspek hukum, Kadfi menyoroti dampak pagar laut yang nyata merugikan masyarakat pesisir. Nelayan kehilangan akses terhadap ruang tangkap tradisional, ekosistem laut terganggu, dan negara dirugikan karena ruang publik diprivatisasi melalui sertifikat di atas laut. “Kerugian yang ditimbulkan sangat multidimensi, bukan hanya administratif,” katanya.
Menurut Aliansi, kasus pagar laut harus dijadikan momentum untuk memperbaiki tata kelola ruang di Kabupaten Tangerang. Mereka menegaskan bahwa tanpa mengusut kebijakan PKKPR yang salah kaprah, keadilan substantif tidak akan tercapai. “Pemkab harus dimintai pertanggungjawaban karena dari mereka semua ini bermula,” ujar Asmudyanto.
Aliansi Tangerang Berdaulat menutup pernyataannya dengan desakan keras agar aparat penegak hukum memperluas penyidikan. “Pagar laut adalah simbol penyalahgunaan kewenangan yang sistematis. Jaksa harus berani menyeret semua pihak agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk bagi hukum dan tata ruang di Indonesia,” pungkas Kadfi.