Negara dan Ormas "Keroyok" Penghayat Sunda Wiwitan

Iklan Semua Halaman

.

Negara dan Ormas "Keroyok" Penghayat Sunda Wiwitan

Staff Redaksi Media DPR
Kamis, 23 Juli 2020

DENPASAR BALI | MEDIA-DPR.COM, Negara dinilai gagal memenuhi kewajibannya melindungi kaum minoritas. Sebaliknya menyemangati aksi penggerudukan oleh massa dan ormas Islam. “Mereka dikeroyok,” kata Sumanto al-Qurtuby, cendikiawan Nusantara Institute saat di konfirmasi MEDIA-DPR.COM Biro Bali, Kamis (23/07)


Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Kuningan baru-baru ini dilaporkan menyegel bangunan bakal makam milik Masyarakat Adat Karuhun (Akur) Sunda Wiwitan di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.  

Saat proses penyegelan tersebut berlangsung, seribuan orang dari organisasi masyarakat (ormas) setempat  yang mendukung penyegelan itu, berada di sekitar lokasi kejadian. Namun, aparat hanya mengizinkan beberapa perwakilan ormas untuk menyaksikan penyegelan di lokasi bangunan bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan, yang berada di area Curug Go'ong.


"Sebagai warga penghayat kepercayaan penganut agama leluhur Sunda Wiwitan, ia merasa kecewa terhadap pemerintah Kabupaten Kuningan yang menurutnya mestinya tidak terburu-buru melakukan penyegelan atas desakan sepihak dari kelompok keagamaan", tegas Ira Indrawadana yang merupakan pengikut Adat Karuhun Sunda Wiwitan dan Dosen Fisip Universitas Padjajaran.

"Pemerintah selayaknya mengayomi masyarakat dan bersikap adil dalam melihat permasalahan dengan mendahulukan asas musyawarah untuk mufakat, kata Ira.

“Tapi sayang mereka melanggar asas ini. Pemaksaan kehendak sekelompok ormas agama tertentu yang menolak pembangunan makam sesepuh adat kami sama seperti penyegelan oleh pihak satpol PP, yaitu sama-sama tindakan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, ke depan, tindakan mereka itu perlu diusut dan dituntut sebagai bagian dari kasus pelanggaran hukum HAM di negara Indonesia,” tandasnya. 

Sunda Wiwitan “dikeroyok” negara dan ormas 

Ira menambahkan, penyegelan ini melukai hati masyarakat Cigugur secara umum, “Ada indikasi kuat bahwa massa yang tergabung dalam ormas yang menolak itu, kebanyakan berasal dari luar masyarakat Desa Cisantana dan Kecamatan Cigugur, basis komunitas agama Sunda Wiwitan. Kasus ini merupakan tamparan keras terhadap Pemda Kuningan yang terbukti tidak menjalankan amanat Pancasila,” ujar dosen Unpad penghayat aliran kepercayaan ini. 

Organisasi Nusantara Institute mengecam aksi penyegelan tersebut. Dari surat pernyataan sikapnya, Direktur Nusantara Institute dan pembina Nusantara Kita Foundation, Sumanto al Qurtuby menuturkan sudah sekian lamanya komunitas Adat Karuhun Sunda Wiwitan (Agama Djawa Sunda) diusik oleh pemerintah dan warga setempat.   

Sunda Wiwitan yang antara lain dianut suku Baduy (gambar), diyakini sudah menyebar di Jawa sejak sebelum kedatangan agama Hindu dan Islam.

“Kini, mereka sedang dikeroyok dan digeruduk massa (Pemkab, Satpol PP dan elemen lokal lain plus warga setempat) karena bangunan bakal makam sesepuh (tokoh) dan pengikut agama lokal ini, seperti biasa, dituduh tidak memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Tuduhan yang sudah dibantah oleh komunitas Sunda Wiwitan,” tandas Sumanto. 

Menurutnya, IMB sering atau selalu dijadikan sebagai alasan untuk mengganyang kelompok yang mereka tidak sukai. Nusantara Institue mempertanyakan, “Jika masalahnya adalah IMB, memangnya ada berapa masjid dan mushala di Indonesia yang memiliki IMB? Memangnya ada berapa kompleks makam yang memiliki IMB?“ 

Tafsir agama pengaruhi komitmen HAM negara 

Sumanto juga mempertanyakan, jika masalahnya adalah karena makam bisa menimbulkan praktik syirik yang dianggap  menyesatan, sebenarnya ada berapa ribu makam para wali, raja dan elite kerajaan, leluhur nusantara serta tokoh bangsa dan agama di Indonesia yang harus disegel dan dimusnahkan? Ia menegaskan, faktor mendasar yang melatari praktik-praktik kekerasan itu bukan persoalan IMB melainkan overdosis fanatisme yang berdampak pada kebencian terhadap "yang lain." 

“Celakanya, pemerintah dan parlemen lokal kadang atau bahkan sering kali bukannya melindungi warga minoritas yang memiliki hak asasi penuh sebagai warga negara, tetapi malah ikut menjadi "cheerleaders", eksekutor dan penabuh gendang gendeng yang dimainkan oleh kelompok ultrakonservatif dan ultrafanatik,” kecam Sumanto lebih lanjut. 

Nusantara Institute menilai, salah satu tantangan terbesar pemerintah dan bangsa Indonesia kini dan masa mendatang adalah dalam hal mengelola keragaman atau kebhinnekaan dengan arif dan bijaksana.  

Pemerintah diharapkan berdiri "di tengah" untuk menjadi pengayom kepentingan semua golongan dan kelompok masyarakat yang beraneka ragam, “Bukan malah menjadi corong kepentingan sekelompok tertentu saja, karena Indonesia ini adalah produk bersama hasil keringat dari semua lapisan kelompok masyarakat yang ada di bumi pertiwi nusantara ini,” pungkas Sumanto Al Qurtuby, direktur Nusantara Institute dan pembina Nusantara Kita Foundation. (GUN).
close