Mengenal Petilasan Kyai I Gusti Ageng Pamecekan dan Parahyangan Sapta Pandita

Iklan Semua Halaman

.

Mengenal Petilasan Kyai I Gusti Ageng Pamecekan dan Parahyangan Sapta Pandita

Staff Redaksi Media DPR
Minggu, 13 September 2020

TAWANGMANGU JAWA TENGAH | MEDIA-DPR.COM, Petilasan Kyai I Gusti Ageng Pamecekan pada awalnya hanya berupa 2 (dua) tumpukan batu yang oleh umat sekitar dikenal dengan sebutan "Punden". Keberadaan punden ini ada dilokasi tanah milik Bapak Tarjo (almarhum) yang meninggal tahun 1990, dimana Bapak Tarjo yang berasal dari Klaten adalah Mantri Pertanian yang memiliki tanah yang ada punden sejak tahun 1965.


Punden ini dirawat oleh Mbah Wiryo sejak tahun 1959 yang saat itu merupakan sesepuh desa, sejak tahun 1959 Warga Dukuh Pasekan sudah merawat Punden ini secara bersama-sama serta sangat menghormati "Eyang" yang berstana di punden tersebut.


Menurut penuturan Mbah Wiryo, ketika beliau hijrah dari Gunung Sewu Sukoharjo ke Dukuh Pasekan pada tahun 1939, saat itu penduduk asli yang tinggal di Dukuh Pasekan yaitu Mbah Karyo Rejo, Mbah Joyo, Mbah Toyo,Mbah Sumo,Mbah Mitro Mbah Harjo dan Mbah Wiryo sendiri keseluruhan berjumlah 7 (Tujuh Keluarga).

Tanah di areal Punden dan sekitarnya awalnya dimiliki oleh Mbah Pawiro Sentono (Eyang Suroso Bayan/Kepala Dusun Keprabon), Mbah Dibyo dan Mbah Mangun Suwito di areal bawah yang akhirnya semua dibeli dan menjadi milik Bapak Tarjo sejak tahun 1965.


Diawali ketika Mbah Wiryo pada tahun 1959 melakukan pecarian jati diri di Gunung Lawu, sekitar jam 02.00 Wib pada hari Rabu Legi didatangi orang tua (secara ghaib/niscala) dengan pesan " Kembalilah, rawat tempatku nanti kuberikan tanda/tengger ", kala itu fisik Mbah Wiryo sudah tidak kuat, syukur Bapak Larto teman satu visi menyusul ke Argodalem Gunung Lawu, ikut membantu Lurah Karangpandan dan Camat Tawangmangu.

Sekitar Jumat Kliwon Mbah Wiryo mendatangi punden  yang lama sudah tak terawat, disaksikan sekitar 50 orang warga Pasekan, Mbah Wiryo merabas rumput mencari "Tengger/Tanda" yang dimaksud. Awalnya ditemukan "Lidi yang dikelilingi rumput", saat dicabut tidak bisa, akhirnya dengan sekuat tenaga diiringi doa "rumput dan lidi" bisa tercabut. Lokasi dibersihkan kemudian ditemukan ada tumpukan batu dengan lehar 1,15 meter panjang 4,15 meter dan tengger lidi diperkirakan pada posisi "pusar".

Sejak itulah Mbah Wiryo merawat  Punden walau tahun 1965 areal tersebut menjadi milik Bapak  Tarjo, tetapi Mbah Wiryo tetap merawatnya dan memimpin ritual terutama dalam rangka "Wilujeng Suro".

Jero Mangku Gde Ketut Soebandi (Alm) mendapat pawisik secara niskala agar mencari makam leluhur di Jawa, pawisik diterima ketika sedang menjalankan tugas dinas sebagai Polisi ke Jawa pada tahun 1970-an.

Pawisik rupanya sampai terinfo ke Jaws yaitu Kraton Mangku Negaran , sesuai penuturan Mbah Sauji Warga Dukuh Gentong Desa Nigasan Kecamatan Karanpandan Kabupaten Karanganyar (menceritakan pada I Nyoman Sukadana dan Ketua Pengempon Nyoman Nasa pada 27 Januari 2007 sekitar jam 11.00 Wib) Mbah Sauji bercerita didatangi Kanjeng Sanyoto dari Puri Mangkunegaran dan Brigjen Giyanto (Pemilik Patung Semar Karangpandan), karena ada pesan dari Bali (Pawisik yang diterima Bapak Ketut Soebandi)untuk mencari kuburan (petilasan) Leluhur "Pasek".

"Apa toh isinya Dukuh Pasekan itu?", kata Kanjeng Santoyo.
Sekitar tahun 1984 Kanjeng Sanyoto bersama Brigjen Giyanto dan Mbah Sauji bersama delegasi dari Bali yang diketuai I Wayan Mertha Suteja mendatangi Kelurahan Karangpandan diterima oleh Lurah Djoko Mulyono Dan staff Keluruhan kemudian ke Dukuh Pasekan diantar oleh Pak Kebayan diterima oleh Ibu Tarjo. Kadi ini awal ditemukan titik terang pawisik yang diterima Bapak Ketut Soebandi.

Kunjungan Bapak Ketut Soebandi ke Puri Mangkunegaran Surakarta (9/3/84) diterima oleh Y.M.Sri Mangkunegoro IX hadir pula I Wayan Mertha Suteja beserta istri, Pandita Mpu Dwi Tantra (Singaraja), Pandhita Mpu Nabe Sinuhun (Bongkasa), Pandita Mpu Nabe Pemuteran (Renon) Ketut Loka (Bale Agung Singaraja) pada tanggal 10 Maret 1984 melakukan perjalanan menuju Dukuh Pasekan Desa Karangpandan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar setelah sampai rumah Bapak Tarjo mengadakan meditasi /semadi atau persembahyangan di lokasi Punden dipimpin oleh Sri Mpu Nabe Dwitantra. 

Saat Meditasi itulah Sri Mpu Nabe Dwitantra menerima Teja Ngadeg (Sinar Suci) dan kemudian kerauhan dengan mengucapkan : " Anak-anakku sekalian, apa yang ditemui dan diinformasikan oleh Putra nakda adalah benar adanya. Eyang adalah Kyai Ageng Pamecekan Leluhurmu yang ditugasi sebagai Purahito (Penasehat Spiritual Kraton Surakarta). Dan telah lama mengharapkan dan menantikan kehadiranmu disini seraya membangun petilasan yang permanen. Memang lama Eyang menantikan adanya kesadaran dari Pratisentanaku dari Bali dan Puri Mangkunegaran telah beberapa kali ingin memugarnya namun Eyang tidak berkenan".

Kyai I Gusti Ageng Pamecekan lahir di Bali dan pindah ke Jawa  ketika Majapahit runtuh di Abad XV beliau pergi ke arah Barat dan sampai ketempat ini bersama istri dan satu keluarga Raja serta seorang pemungut upeti. Beliau meninggal bukan karena kalah perang tetapi karena usia tua.

Kepala Biro Provinsi Bali MEDIA-DPR.COM Lilik Adi Goenawan.S.Ag sempat mengunjungi dan mengikuti persembahyangan di Petilasan Kyai I Gusti Ageng Pemacekan dan Pura Parahyangan Sapta Pandita pada (1/9) bertepatan dengan Purnama di Dusun Pasekan Desa Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah usai Umbul Dunggo Pringgodani di Petilasan Eyang Panembahan Koco Negoro di Gunung Lawu.(GUN)
close