KPH Wironegoro, Pengelola Sumber Daya Manusia di Keraton Yogyakarta

Iklan Semua Halaman

.

KPH Wironegoro, Pengelola Sumber Daya Manusia di Keraton Yogyakarta

Staff Redaksi Media DPR
Rabu, 16 September 2020

JOGJAKARTA | MEDIA-DPR.COM, Memimpin hampir tiga ribu Abdi Dalem keraton, mengayomi dua ribuan nelayan Yogyakarta, berkontribusi dalam bidang pendidikan, serta terlibat beragam kegiatan pengembangan seni dan budaya, KPH Wironegoro kaya pengalaman dalam berbagai bidang. 

Pemimpin Abdi Dalem

Pada 2002, Suwargi GBPH Joyokusumo (Penghageng Panitrapura kala itu) meminta Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro menjadi Penghageng Parentah Hageng di Keraton Yogyakarta. Tanggung jawab yang diemban menantu Sri Sultan Hamengku Buwono X ini adalah mengelola sumber daya manusia atau SDM istana. 


Ada sekitar tiga ribu Abdi Dalem keraton baik Punakawan atau Keprajan yang semuanya berada di bawah tanggung jawab KPH Wironegoro. Jumlah tersebut senantiasa berubah karena setiap tahun diselenggarakan dua kali wisuda, yaitu pada bulan Sawal dan Bakda Mulud. 

Selain mengangkat Abdi Dalem baru, Parentah Hageng bertugas menjalankan pawiyatan (pelatihan) dan manajemen, seperti menaikkan posisi atau merotasi Abdi Dalem melalui Hajad Dalem Wisudan.


Pengabdi Budaya

Menurut laki-laki yang bernama asli RM H. Nieko Messa Yudha, M. Sc, menjadi Abdi Dalem berarti mengabdi terhadap kebudayaan. Beliau menekankan, pangkat yang disandang Abdi Dalem adalah amanat dan tidak untuk meninggikan hati. 

“Bangga boleh, tapi juga jangan berlebihan karena sejatinya para Abdi Dalem itu adalah wakil istana, wakil dari Ngarsa Dalem ketika mereka berada di masyarakat,” jelas ayah satu putra dan satu putri ini. 

Abdi Dalem tidak hanya berada di Yogyakarta. Sebagian ditugaskan ke berbagai tempat, seperti di petilasan, pemakaman, Gunung Lawu, bahkan di Makassar. Mereka diharapkan dapat meneruskan pesan dan ilmu dari Keraton Yogyakarta.  

Semangat Pembaruan 

Lahirnya UU Keistimewaan No. 13 Tahun 2012 memperteguh status keraton sebagai pusat budaya yang tidak hanya lestari, tetapi juga terbarukan. Di awal menjabat Penghageng Parentah Hageng delapan belas tahun lalu, KPH Wironegoro menghadapi fakta bahwa hampir 70% Abdi Dalem di keraton berusia di atas enam puluh tahun.

Ini tentu sebuah tantangan saat keraton sedang bertransformasi untuk menjadi institusi budaya yang berwawasan manajemen modern. Menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi suami GKR Mangkubumi ini untuk melakukan migrasi dari sistem analog yang sudah berjalan sekian ratus tahun menjadi sistem digital menggunakan komputer dan teknologi dalam kerja-kerja di keraton. 

Namun, buah dari semangat pembaruan itu sudah cukup banyak terlihat. Saat ini banyak anak muda, seperti lulusan S1 Institut Seni Indonesia jurusan tari dan gamelan yang tertarik menjadi Abdi Dalem. 

Artinya makin banyak generasi baru yang berminat melestarikan budaya. Ini tentu perubahan positif bagi semangat baru yang tengah diupayakan oleh istana.  

Pengelolaan Abdi Dalem

Dahulu proses regenerasi Abdi Dalem menitikberatkan pada pengelolaan yang sudah ada sehingga sebagian besar penerus Abdi Dalem adalah anak atau cucu Abdi Dalem sebelumnya. 

Namun, ini menjadi tantangan karena tidak semua anak mewarisi bakat yang sama dari orang tuanya. Pengalaman tersebut memberikan pemahaman kepada KPH Wironegoro bahwa transfer pengetahuan tak dapat mengandalkan keturunan. Oleh karena itu, kini rekrutmen dilakukan oleh Parentah Hageng bekerja sama dengan Tepas dan Kawedanan dan berfokus pada keahlian.

Menurut lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, National Hotel Management Institute, Swiss dan Surrey University Inggris ini, ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam pengelolaan Abdi Dalem di keraton.

Pertama harus berdasarkan kepercayaan atau based on truth. Ketika naik pangkat, Abdi Dalem harus jujur bahwa syarat-syaratnya sudah terpenuhi dan tidak memaksakan diri bila memang belum tercapai. 

Menurut KPH Wironegoro tanpa kejujuran, pangkat tinggi pun akan rapuh. Nilai-nilai pengabdian dan kejujuran tersebut penting dalam menjadikan keraton sebagai  center of excellence. 

Faktor kedua adalah kapasitas yang dipunyai. “Kita tidak mentolerir ada rekomendasi-rekomendasi yang sifatnya itu nepotisme, kolusi,” jelas KPH Wironegoro. “Kecuali mirunggan, karena itu memang haknya Ngarsa Dalem prerogratif sebagai seorang raja.”

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah egaliterian. Menurut laki-laki yang menikah pada 2002 itu, asas ini harus dijunjung saat berhubungan dengan Abdi Dalem di keraton, baik di dalam atau di luar tembok keraton. “Ketika para Abdi Dalem itu sudah dijadikan Abdi Dalem oleh Ngarsa Dalem, oleh Parentah Hageng, mereka itu sudah diangkat menjadi bagian keluarga besar Keraton Yogyakarta Hadiningrat.” 

Merengkuh Abdi Dalem sebagai bagian keluarga besar keraton dibuktikan melalui bahasa. Di keraton, KPH Wironegoro menggunakan bahasa bagongan. Ini adalah bahasa khas dalam Abdi Dalem yang berasal dari bahasa krama, namun dengan beberapa kosakata diganti, seperti kula diganti manira, jenengan diganti pakenira, mboten diganti mboya. 

“Saya menjaga tetap (menggunakan bahasa) bagongan, tidak ada jarak saya sebagai seorang pangeran dengan Abdi Dalem.” Sikap egaliter merupakan perwujudan filosofi Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yakni takhta untuk rakyat. 

“Ya walaupun kita pangeran, walaupun pangkatnya lebih tinggi, posisinya lebih tinggi, bagaimana kita itu egalitarian dengan para Abdi Dalem kita.” KPH Wironegoro bersyukur bahwa nilai-nilai yang beliau tanamkan sebagai seorang pemimpin itu direspon dengan baik oleh anak buahnya. 

Ketertarikan Anak Muda Menjadi Abdi Dalem
Perubahan sistem dan keterbukaan rekrutmen meningkatkan gairah anak-anak muda yang ingin menjadi Abdi Dalem. Di media sosial banyak yang bertanya bagaimana caranya menjadi Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta. 

KPH Wironegoro menyambut hal itu dengan gembira. Namun, ia mengingatkan bahwa anak-anak muda yang tertarik ini harus meresapi makna sebuah pengabdian. “Ada unsur yang namanya mencari berkah, mengabdikan diri untuk kebudayaan, dapat berkah dari Ngarsa Dalem,” jelasnya.  

Mereka juga harus mempelajari struktur organisasi yang ada di keraton. Anak-anak muda yang memiliki keahlian seni bisa bergabung dengan Kridhomardowo. Lulusan arsitektur bisa masuk Panitrapura yang mengurusi renovasi bangunan-bangunan heritage keraton. Sedangkan yang tertarik pada pariwisata dapat membantu GKR Bendara yang membawahi Tepas Pariwisata, dan lulusan IT serta komunikasi dapat membantu GKR Hayu di Tepas Tandha Yekti.

“Pelajari dulu karakteristik tentang manajemen organisasi yang ada di keraton, sehingga akan tahu menyasar pada Tepas mana dan sesuai dengan keahliannya,” tambahnya   

Nelayan, Pendidikan dan Seni

Di luar keraton KPH Wironegoro aktif dalam berbagai bidang. Saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Himpunan Nelayan DIY dan mengelola tiga DPC, yakni di Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo. Anggotanya sekitar 2800 nelayan.  KPH Wironegoro sangat tertarik untuk terjun dalam bidang ini karena menyadari Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki wilayah laut luas dengan potensi besar yang belum sepenuhnya tergarap. Hal ini juga untuk mendukung visi maritim Ngarsa Dalem untuk menjadikan wilayah selatan/laut sebagai halaman depan DIY.

Selain itu Kanjeng Pangeran, sapaan beliau di lingkungan keraton, juga mempunyai perhatian besar terhadap pendidikan inklusi. Saat ini beliau mengelola Yayasan Edukasi Anak Nusantara yang membawahi Sekolah Tumbuh, mulai dari jenjang TK sampai dengan SMA dan tengah berencana membangun perguruan tinggi.  

Mengajarkan keberagaman penting bagi KPH Wironegoro. “Melihat perbedaan itu tidak hanya sebagai kelemahan, tetapi sebagai kekuatan,” tegasnya. 

Tak hanya sampai di situ, Kanjeng Pangeran juga berperan dalam kemajuan seni di Yogyakarta. Ia mengetuai Yayasan Yogyakarta Seni Nusantara. Yayasan ini membawahkan salah satunya Lokananta Solo, sebuah perusahaan label musik pertama milik negara Indonesia. Jogja Nasional Museum pun ada di bawah pengelolannya. Institusi yang sering menyelenggarakan kegiatan seni internasional ini tak hanya menghidupkan seni, namun juga UMKM dan industri kreatif lainnya. 

KPH Wironegoro merangkul berbagai karya seni mulai dari yang tradisional klasik sampai kontemporer. Beliau menganggap ini penting karena anak muda tidak hanya menyukai karya tradisional, namun juga yang kontemporer. 

Kanjeng Pangeran berharap karya-karya dari Yogyakarta yang diapresiasi di dunia juga ditampilkan di kota ini agar masyarakat menyadari potensi mereka. Memiliki kedudukan tinggi tak membuatnya canggung melebur. Beliau bahkan tidak membutuhkan prosedur protokol dan mandiri untuk melakukan berbagai kegiatan. 

Dalam membangun kedekatan, KPH Wironegoro menekankan bahwa pemimpin tidak seharusnya hanya bisa memerintah saja. Menjadi role model tidak bisa berlandaskan pada pendidikan tinggi atau gelar yang berjejer, tetapi bagaimana meneruskan nilai-nilai yang dipunyai. 

“Sehingga sendika dhawuh itu bukan hanya sendika dhawuh nggak puguh. Sendika dhawuh-nya (seharusnya) dari hati. Bukan hanya keterpaksaan atau sekadar menyenangkan atasannya.”

Kanjeng Pangeran menyebutkan pendekatan dengan nelayan sepanjang Pantai Sadeng di ujung timur sampai Pantai Congot di ujung barat telah menjadikan pantai-pantai di Yogyakarta semakin indah. Tidak diperbolehkan ada tenda biru, dan garis sempadan pantai harus dipenuhi. Hamemayu hayuning bawana harus diterapkan.  

Setara dan Siap Berbagi dalam Rumah Tangga
Di tengah kegiatan yang cukup padat, KPH Wironegoro tetap memprioritaskan keluarga. Beliau mengurusi pendidikan anak, menyiapkan kebutuhan mereka, dan juga siap melakukan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih dan berkebun. “Saya tidak keberatan harus berbagi tugas dengan istri saya. Yang saya pahami, saya harus (men)dukung (istri) sebagai seorang perempuan, yang menjadi seorang pemimpin, calon pemimpin, atau menjadi role model.”

KPH Wironegoro tidak menuntut istri untuk menyiapkan apa yang diperlukan di pagi hari seperti teh dan kopi. “Saya bikin sendiri,” jelasnya. Beliau menambahkan bahwa apa yang dilakukan adalah dukungan terbaik untuk keluarga. “Sehingga saya bisa memberikan kesempatan yang luas kepada istri saya untuk berkarier, seluas-luasnya.” KPH Wironegoro dan GKR Mangkubumi selalu berkomunikasi dan berdiskusi bila hendak bepergian, termasuk ketika berdua diamanahi suatu tugas atau jabatan. 

Ketika Gusti Mangku harus bepergian, Kanjeng Pangeran dengan suka hati mengurus anak dan rumah.  “Kekuatannya adalah bagaimana both of us punya kesepamahaman bahwa kita setara dan kita siap berbagi,” tambahnya. Prinsip kesetaraan tersebut juga disebarkan di masyarakat. Beliau menyampaikan bahwa perempuan bukan hanya kanca wingking. Mereka juga bisa berkontribusi di luar rumah. 

Jogja dan Role Model Pemimpin
Terkait dengan kepemimpinan, KPH Wironegoro berpendapat bahwa seorang pemimpin harus berhenti memikirkan kepentingan diri sendiri dan golongan. Jabatan bukan sesuatu yang perlu dibanggakan. 

Beliau menegaskan seorang pemimpin jangan hanya berada di zona nyaman singgasananya, namun harus dekat dan manunggal dengan masyarakat. 

Sementara untuk anak muda, KPH Wironegoro menekankan pentingnya mempelajari contoh-contoh pemimpin baik yang dimiliki keraton dan negara ini. Menurutnya, warga Yogyakarta harus bangga dengan identitasnya tanpa perlu ingin dielu-elukan atau dijunjung tinggi, seperti telah diteladankan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sangat patriotis namun tetap egaliter dan tidak ingin dikultuskan.(LAG)
close